EKONOMI KREATIF Kerajinan Kulit Sulit Tembus Pasar Internasional
Solopos.com, JOGJA—Kerajinan dari kulit memiliki
prospek yang bagus di Jogja. Beberapa orang sudah berhasil menjual
hingga luar negeri, namun bagi perajin lain hal itu masih jadi kendala.
Salah satu pemilik usaha kerajinan kulit di Jogja, Bayu Ratna Dhini
mengatakan, ia memulai usahanya sejak empat tahun lalu. Berawal dari
melihat temannya yang juga memiliki usaha kerajinan dar kulit. Ratna
mengatakan, ia terpacu untuk mengikuti jejak temannya yang sudah
memasarkan produk hingga luar negeri. “Saya pun ingin bisa ekspor. Tapi
masih terkendala modal,” ujar dia kepada Harian Jogja ketika ditemui di
Mal Malioboro, Jogja, beberapa waktu lalu
Ia mengungkapkan, ada pun produk yang dia buat adalah tas, dompet,
sepatu, dan gelang. Selain itu, ia juga menerima pesanan khusus. Untuk
menjaga kualitas barangnya, Ratna selalu menggunakan bahan dengan
kualitas baik. Bahan itu dia dapat dari Jogja dan Klaten. “Saya memakai
bahan berupa kulit sapi, kambing, domba, ikan pari, ular dan buaya,”
imbuh dia.
Untuk membuka usahanya, ia pun harus menjual mobil. Modal awal untuk
membuka usahanya sebanyak Rp30 juta untuk membeli peralatan jahit. Ia
pun belajar cara membuat tas dan sendal dari kulit.
Harga bahan-bahan pun bervariasi. Misalnya saja kulit sapi ukuran 25
cm x 25 cm dibeli dengan harga Rp25.00. Untuk membuat tas setidaknya
dibutuhkan empat lembar kulit sapi. Harga kulit ular lebih mahal lagi
yakni Rp200.000 per meter. “Kulit ular piton lebih mahal lagi,” ungkap
dia.
Harga yang dipatok, ujar dia, berbeda-beda. Untuk dompet pria dijual
dengan harga rata-rata Rp300.000, dompet perempuan antara Rp350.000
hingga Rp400.000. Tas kecil Rp500.000 hingga Rp1,2 juta, tas besar
dijual di atas Rp1,2 juta. Sementara, untuk tas besar yang terbuat dari
kulit ular dijual dengan harga Rp1,5 juta hingga Rp1,8 juta.
“Omzet per bulan naik turun antara Rp10 juta hingga Rp15 juta, kadang lebih,” ujar dia.
Ia mengaku, saat ini masih berkonsentrasi untuk menembus pasar
internasional. Selain karena persoalan modal, ia masih membutuhkan
sokongan pemerintah. Menurutnya, dukungan pemerintah yang sudah ada
cukup baik namun masih perlu ditingkatkan. “Saya senang karena
dilibatkan dalam pameran. Hal itu bisa untuk promosi. Tapi, saya
berharap dukungan akan semakin besar,” ujar dia.
Kepala Bidang Koperasi dan UMKM Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi, dan UMKM (Disperindagkop UMKM) DIY Sultoni Nurifai
mengungkapkan, salah satu usaha pemerintah untuk mendukung UMKM adalah
melalui pameran. Pameran merupakan ajang untuk menunjukkan potensi
industri kreatif yang ada di DIY. “Para peserta yang mengikuti pameran
merupakan perajin yang dinilai sudah layak mengikuti pameran meskipun
masih dalam tahapan lokal,” ujar dia
harianjogja.com, JOGJA-Di
tengah gempuran produk-produk kulit dari luar negeri, perajin kulit DIY
mencoba bertahan sekuat tenaga. Berbagai upaya dilakukan agar tetap
menjadi perhatian pasar meski harus menanggalkan idealismenya.
Bayu Ratna Dhini, perempuan perantau keturunan Jawa Barat-Padang,
merupakan salah satu perajin kulit di Jogja yang tetap bertahan dan
optimistis menatap bisnis kulit di masa depan. Ia mengakui, berjalannya
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan mengundang pebisnis tas kulit dari
Asean masuk ke Indonesia. Produknya pun akan bersaing dengan luar
negeri.
Menghadapi itu, ia lebih memilih berpikir realistis untuk tidak
terlalu idealis dalam berbisnis. “Saya akan ikuti pasar, yang lagi
booming model apa karena sekarang ini trennya sedang begitu. Apa yang
lagi tren diikuti. Cara menghadapi MEA ya seperti itu. Kalau tetap mau
idealis model saya harus gini-gini, malah nggak jalan,” katanya pada
Harian Jogja di rumahnya di daerah Gowongan Lor, Jumat (10/2/2017).
Ayu, memulai bisnis sejak 2012. Ia menjalani usaha pembuatan tas
bersama sang suami, Dhani Kurniawan yang juga sama-sama perantau. Dengan
mengusung brand Diby Leather, pasutri tiga anak ini memproduksi tas,
asesoris, dompet, sampai sepatu. Harga tas mulai Rp500.000-Rp3 juta,
asesoris mulai Rp25.000, dompet mulai Rp250.000-Rp500.000, dan sepatu
mulai Rp500.000-Rp1,5 juta.
Bahan bakunya menggunakan kulit pull up dari hewan sapi, domba,
kambing, dan ular. Kulit pull up merupakan kulit lanjutan dari
pengolahan jenis kulit finish leather. Jenis kulit ini lebih tahan lama
dibandingkan kulit nabati.
Perajin tas kulit tidak jarang memilih bahan kulit yang sudah
disamak. Namun, Ayu lebih memilih untuk menyamak kulit sendiri karena
keuntungan yang diperoleh lebih besar. Setidaknya dalam sebulan ia mampu
menjual 50 tas dengan omset sampai Rp60 juta.
Ia memasarkan produknya hanya melalui online. Sejauh ini, Ayu masih
enggan membuka toko karena biayanya akan membengkak. Justru dengan
online tersebut, pemasaran bisa lebih luas sampai Amerika, Prancis, dan
negara lainnya.
Diby Leather juga menerima pesanan jika ada customer yang ingin
mengombinasikan kulit dengan kain lain. Sejauh ini, ada tiga customernya
yang memesan tas kombinasi kain tradisional. “Dari Medan ada yang
ngirim tenun uwish dan minta dipadukan dengan kulit. Dari Cirebon dan
Bali juga ada,” katanya.
Meski menggunakan kulit dengan kualitas tinggi, Diby Leather juga
menyediakan produk untuk segmentasi menengah ke bawah. Bukan kualitasnya
yang dikurangi tetapi ukuran tasnya yang diperkecil.
Sebagai perajin kulit, ia tak semata mempercayakan pada lima
karyawannya yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Bagi Ayu, saat
memutuskan sebagai pebisnis tas kulit, ia juga harus bisa menguasai
teknik memola, memilih kulit yang baik, menghitung HPP, sampai
memasarkan.
Seakan berlomba-lomba, Indonesia kini menjadi lahan yang subur
bagi industri kreatif, termasuk untuk para pengrajin lokal. Produksi
kerajinan berbahan dasar raw material seperti kain, kulit dan sebagainya mulai marak di produksi.
Terinspirasi dari seorang teman yang sudah terlebih melakukan usaha pembuatan tas kulit, Ayu
merasa tertarik untuk mencoba bisnis ini, meski tanpa modal dan
pengetahuan yang cukup tentang kulit. Ia beranggapan bahwa apa yang
orang lain bisa lakukan, tentu pula dapat ia lakukan. Lalu kenapa tidak
ia mulai saja bisnisnya sendiri? Kepada Qlapa, wanita bernama lengkap
Bayu Ratna Dhini ini menceritakan lebih dalam perjuangannya mendirikan Diby Leather.
Belajar kulit secara otodidak
Sebagai kota dengan jumlah pengrajin yang cukup besar, Yogyakarta
memang tak pernah kehilangan daya tariknya. Produk seni buatan tangan
dari kota ini bahkan sudah banyak yang sampai ke dunia internasional.
Sebagai penduduk asli Yogyakarta, Ayu memiliki semangat juang yang
sama. Ia beranggapan, persoalan memproduksi kerajinan apapun seharusnya
bisa ia lakukan sendiri. “Yogya ini pusatnya para pengrajin. Aku
berpikir, kalau temanku bisa buat sendiri kenapa aku enggak? Akhirnya
aku coba belajar cara pembuatan tentang produksi kulit itu sendiri.
Mulai dari bahan, pengrajin yang bisa diajak kerjasama dan lain-lain,”
tutur Ayu.
Bermula pada tahun 2012, Ayu mempelajari banyak hal tentang industri
yang digelutinya saat ini. Ia mengasah diri belajar teknik menjahit,
membuat pola, hingga proses produksi. Sebagai entrepreneur, dari hal terkecil hingga terbesar dalam industrinya Ayu merasa harus menguasainya terlebih dahulu.
“Dulu modal awal itu nggak terlalu banyak. Mungkin sekitar Rp30 juta,
itu juga sempat jual mobil hahahaha. Karena nekat aja, kita buat beli
peralatan mesin jahit, mesin seset dan lain-lainnya. Karena
modal kita terbatas, kita ngandalinnya sistem pre order dengan
pembayaran di muka 50%. Nanti bisa kita putar buat membeli bahan-bahan.
Sekarang, Alhamdulillah kita sudah bisa stock,” tutur Ayu.
Diby Leather yang Tak Ingin Gadaikan Kualitas
Persaingan tentu terjadi di mana pun. Dalam hal ini, Ayu yang
bersaing dengan para pengrajin besar di Yogyakarta, mengaku persaingan
ketat ini justru menambah semangatnya.
“Yogya itu pusat kerajinan ya, dan banyak juga yang produksi seperti kami. Persaingannya ketat. Dari harga sudah bersaing, brand
apalagi, juga harga produksi semua sudah naik. Kita harus lebih kreatif
dan inovatif lagi,” ungkap Ayu. Meski banyak produk tas yang menawarkan
harga murah, hal ini tak ingin dijadikannya sebagai srategi pemasaran.
Diby Leather menurut Ayu, sangat mengutamakan kualitas dan juga bahan
produksi. Bahan dasar kulit ia beli langsung dari salah satu pengrajin
di Jawa Timur untuk di samak (proses pengolahan warna). Sang suami
membantu menyamak kulit, dan Ayu mengolahnya menjadi produk Diby Leather
seperti tas, dompet dan lain-lain. Hal ini ia akui sebagai satu langkah
memangkas harga produksi, dibanding harus membeli kulit jadi dari
pengrajin.
Diby Leather memakai spesialisasi pull-up yang membuat produk lebih tahan lama. “Kalau untuk kulitnya sendiri kita pakai yang sudah matang. Kita pakai spesialisasinya pull-up.
Kalau kulit matang itu kan dipakai dalam jangka waktu yang lama lebih
awet,” jelas wanita kelahiran Yogyakarta, 18 Desember 1981.
Dengan kualitas yang bisa diadu, Diby Leather menghargai produknya Rp
350 ribu hingga Rp 2 juta. Tas kulit yang dihasilkan kini dipasarkan di
beberapa marketplace, termasuk Qlapa. Untuk toko fisik Ayu mengaku belum memilikinya karena toko online menurutnya lebih efisien. “Kita home industry, jadi kalau ada yang mau mesan, ke rumah aja juga bisa gitu hahaha,” canda Ayu.
Saat ini Diby Leather dikerjakan
oleh 5 orang pengrajin, termasuk Ayu sendiri dan sang suami. Lebih dari
5 tahun berdiri, Ayu berharap produk yang ia hasilkan dapat merambah ke
pasar ekspor dan dikenal di pasar internasional. “Kalau bisa enggak
usah nunggu 5 tahun ke depan, harus bisa secepatnya,” tambah Ayu.
Diby Leather memiliki satu mimpi yang lebih besar, yakni menjadi
brand yang mumpuni dan terkenal dengan produk mereka sendiri.
Mengembangkan kerajinan asli Indonesia dari tangan pengrajin Indonesia.
“Kita juga mau kembangkan ke yang lain. Misalnya kain-kain tradisional
padukan dengan kulit. Walaupun itu sudah ada, tapi kita mau punya konsep
seperti itu,” tutup Ayu.