PRODUSEN TAS KULIT ASLI

TAS KULIT WANITA DIBY


 TAS KULIT DIBY GREEPE
SZ 30X33X8CM
BAHAN KULIT SAPI PULLUP DARKBROWN
INNER DRILL
WITH ZIPPER POCKET AND HP
ALSO WITH LONG STRAP
IDR 499.000

 TAS KULIT DIBY GREEPE
SZ 30X33X8CM
BAHAN KULIT SAPI PULLUP DARKBROWN
INNER DRILL
WITH ZIPPER POCKET AND HP
ALSO WITH LONG STRAP
IDR 499.000




TAS KULIT DIBY SERENA SERUT
SZ 25X27X15CM
BAHAN KULIT SAPI NOBUCK DARKBROWN
INNER SUEDE
WITH ZIPPER POCKET AND HP
ALSO WITH LONG STRAP
IDR 499.000


TAS KULIT DIBY SERENA SERUT
SZ 25X27X15CM
BAHAN KULIT SAPI NOBUCK DARKBROWN
INNER SUEDE
WITH ZIPPER POCKET AND HP
ALSO WITH LONG STRAP
IDR 499.000


TAS KULIT DIBY SERENA SERUT
SZ 25X27X15CM
BAHAN KULIT SAPI NOBUCK GREY
INNER SUEDE
WITH ZIPPER POCKET AND HP
ALSO WITH LONG STRAP
IDR 499.000


TAS KULIT DIBY SERENA SERUT FLOWER
SZ 25X27X15CM
BAHAN KULIT SAPI NOBUCK PRINTED FLOWER
INNER SUEDE
WITH ZIPPER POCKET AND HP
ALSO WITH LONG STRAP
IDR 499.000


TAS KULIT DIBY SERENA SERUT FLOWER
SZ 25X27X15CM
BAHAN KULIT SAPI NOBUCK PRINTED FLOWER
INNER SUEDE
WITH ZIPPER POCKET AND HP
ALSO WITH LONG STRAP
IDR 499.000

EKONOMI KREATIF Kerajinan Kulit Sulit Tembus Pasar Internasional

EKONOMI KREATIF
Kerajinan Kulit Sulit Tembus Pasar Internasional

 

Solopos.com, JOGJA—Kerajinan dari kulit memiliki prospek yang bagus di Jogja. Beberapa orang sudah berhasil menjual hingga luar negeri, namun bagi perajin lain hal itu masih jadi kendala.
Salah satu pemilik usaha kerajinan kulit di Jogja, Bayu Ratna Dhini mengatakan, ia memulai usahanya sejak empat tahun lalu. Berawal dari melihat temannya yang juga memiliki usaha kerajinan dar kulit. Ratna mengatakan, ia terpacu untuk mengikuti jejak temannya yang sudah memasarkan produk hingga luar negeri. “Saya pun ingin bisa ekspor. Tapi masih terkendala modal,” ujar dia kepada Harian Jogja ketika ditemui di Mal Malioboro, Jogja, beberapa waktu lalu
Ia mengungkapkan, ada pun produk yang dia buat adalah tas, dompet, sepatu, dan gelang. Selain itu, ia juga menerima pesanan khusus. Untuk menjaga kualitas barangnya, Ratna selalu menggunakan bahan dengan kualitas baik. Bahan itu dia dapat dari Jogja dan Klaten. “Saya memakai bahan berupa kulit sapi, kambing, domba, ikan pari, ular dan buaya,” imbuh dia.
Untuk membuka usahanya, ia pun harus menjual mobil. Modal awal untuk membuka usahanya sebanyak Rp30 juta untuk membeli peralatan jahit. Ia pun belajar cara membuat tas dan sendal dari kulit.


Harga bahan-bahan pun bervariasi. Misalnya saja kulit sapi ukuran 25 cm x 25 cm dibeli dengan harga Rp25.00. Untuk membuat tas setidaknya dibutuhkan empat lembar kulit sapi. Harga kulit ular lebih mahal lagi yakni Rp200.000 per meter. “Kulit ular piton lebih mahal lagi,” ungkap dia.
Harga yang dipatok, ujar dia, berbeda-beda. Untuk dompet pria dijual dengan harga rata-rata Rp300.000, dompet perempuan antara Rp350.000 hingga Rp400.000. Tas kecil Rp500.000 hingga Rp1,2 juta, tas besar dijual di atas Rp1,2 juta. Sementara, untuk tas besar yang terbuat dari kulit ular dijual dengan harga Rp1,5 juta hingga Rp1,8 juta.
“Omzet per bulan naik turun antara Rp10 juta hingga Rp15 juta, kadang lebih,” ujar dia.
Ia mengaku, saat ini masih berkonsentrasi untuk menembus pasar internasional. Selain karena persoalan modal, ia masih membutuhkan sokongan pemerintah. Menurutnya, dukungan pemerintah yang sudah ada cukup baik namun masih perlu ditingkatkan. “Saya senang karena dilibatkan dalam pameran. Hal itu bisa untuk promosi. Tapi, saya berharap dukungan akan semakin besar,” ujar dia.
Kepala Bidang Koperasi dan UMKM Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM (Disperindagkop UMKM) DIY Sultoni Nurifai mengungkapkan, salah satu usaha pemerintah untuk mendukung UMKM adalah melalui pameran. Pameran merupakan ajang untuk menunjukkan potensi industri kreatif yang ada di DIY. “Para peserta yang mengikuti pameran merupakan perajin yang dinilai sudah layak mengikuti pameran meskipun masih dalam tahapan lokal,” ujar dia

.http://www.solopos.com/2015/09/01/ekonomi-kreatif-kerajinan-kulit-sulit-tembus-pasar-internasional-638279

Tinggalkan Idealisme Demi Bersaing di Era MEA


 harianjogja.com, JOGJA-Di tengah gempuran produk-produk kulit dari luar negeri, perajin kulit DIY mencoba bertahan sekuat tenaga. Berbagai upaya dilakukan agar tetap menjadi perhatian pasar meski harus menanggalkan idealismenya.

Bayu Ratna Dhini, perempuan perantau keturunan Jawa Barat-Padang, merupakan salah satu perajin kulit di Jogja yang tetap bertahan dan optimistis menatap bisnis kulit di masa depan. Ia mengakui, berjalannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan mengundang pebisnis tas kulit dari Asean masuk ke Indonesia. Produknya pun akan bersaing dengan luar negeri.
Menghadapi itu, ia lebih memilih berpikir realistis untuk tidak terlalu idealis dalam berbisnis. “Saya akan ikuti pasar, yang lagi booming model apa karena sekarang ini trennya sedang begitu. Apa yang lagi tren diikuti. Cara menghadapi MEA ya seperti itu. Kalau tetap mau idealis model saya harus gini-gini, malah nggak jalan,” katanya pada Harian Jogja di rumahnya di daerah Gowongan Lor, Jumat (10/2/2017).
Ayu, memulai bisnis sejak 2012. Ia menjalani usaha pembuatan tas bersama sang suami, Dhani Kurniawan yang juga sama-sama perantau. Dengan mengusung brand Diby Leather, pasutri tiga anak ini memproduksi tas, asesoris, dompet, sampai sepatu. Harga tas mulai Rp500.000-Rp3  juta, asesoris mulai Rp25.000, dompet mulai Rp250.000-Rp500.000, dan sepatu mulai Rp500.000-Rp1,5 juta.
Bahan bakunya menggunakan kulit pull up dari hewan sapi, domba, kambing, dan ular. Kulit pull up merupakan kulit lanjutan dari pengolahan jenis kulit finish leather. Jenis kulit ini lebih tahan lama dibandingkan kulit nabati.
Perajin tas kulit tidak jarang memilih bahan kulit yang sudah disamak. Namun, Ayu lebih memilih untuk menyamak kulit sendiri karena keuntungan yang diperoleh lebih besar. Setidaknya dalam sebulan ia mampu menjual 50 tas dengan omset sampai Rp60 juta.
Ia memasarkan produknya hanya melalui online. Sejauh ini, Ayu masih enggan membuka toko karena biayanya akan membengkak. Justru dengan online tersebut, pemasaran bisa lebih luas sampai Amerika, Prancis, dan negara lainnya.
Diby Leather juga menerima pesanan jika ada customer yang ingin mengombinasikan kulit dengan kain lain. Sejauh ini, ada tiga customernya yang memesan tas kombinasi kain tradisional. “Dari Medan ada yang ngirim tenun uwish dan minta dipadukan dengan kulit. Dari Cirebon dan Bali juga ada,” katanya.
Meski menggunakan kulit dengan kualitas tinggi, Diby Leather juga menyediakan produk untuk segmentasi menengah ke bawah. Bukan kualitasnya yang dikurangi tetapi ukuran tasnya yang diperkecil.
Sebagai perajin kulit, ia tak semata mempercayakan pada lima karyawannya yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Bagi Ayu, saat memutuskan sebagai pebisnis tas kulit, ia juga harus bisa menguasai teknik memola, memilih kulit yang baik, menghitung HPP, sampai memasarkan.

http://www.harianjogja.com/baca/2017/02/11/ekonomi-kreatif-tinggalkan-idealisme-demi-bersaing-di-era-mea-792294

special berita from diby leather,sebagai produsen tas kulit




Diby Leather dan Semangat Berkerajinan yang ‘Menular’ di Yogyakarta



Crafter Story
Seakan berlomba-lomba, Indonesia kini menjadi lahan yang subur bagi industri kreatif, termasuk untuk para pengrajin lokal. Produksi kerajinan berbahan dasar raw material seperti kain, kulit dan sebagainya mulai marak di produksi.
Terinspirasi dari seorang teman yang sudah terlebih melakukan usaha pembuatan tas kulit, Ayu merasa tertarik untuk mencoba bisnis ini, meski tanpa modal dan pengetahuan yang cukup tentang kulit. Ia beranggapan bahwa apa yang orang lain bisa lakukan, tentu pula dapat ia lakukan. Lalu kenapa tidak ia mulai saja bisnisnya sendiri? Kepada Qlapa, wanita bernama lengkap Bayu Ratna Dhini ini menceritakan lebih dalam perjuangannya mendirikan Diby Leather.


Belajar kulit secara otodidak

Sebagai kota dengan jumlah pengrajin yang cukup besar, Yogyakarta memang tak pernah kehilangan daya tariknya. Produk seni buatan tangan dari kota ini bahkan sudah banyak yang sampai ke dunia internasional.
Sebagai penduduk asli Yogyakarta, Ayu memiliki semangat juang yang sama. Ia beranggapan, persoalan memproduksi kerajinan apapun seharusnya bisa ia lakukan sendiri. “Yogya ini pusatnya para pengrajin. Aku berpikir, kalau temanku bisa buat sendiri kenapa aku enggak? Akhirnya aku coba belajar cara pembuatan tentang produksi kulit itu sendiri. Mulai dari bahan, pengrajin yang bisa diajak kerjasama dan lain-lain,” tutur Ayu.


Bermula pada tahun 2012, Ayu mempelajari banyak hal tentang industri yang digelutinya saat ini. Ia mengasah diri belajar teknik menjahit, membuat pola, hingga proses produksi. Sebagai entrepreneur, dari hal terkecil hingga terbesar dalam industrinya Ayu merasa harus menguasainya terlebih dahulu.
“Dulu modal awal itu nggak terlalu banyak. Mungkin sekitar Rp30 juta, itu juga sempat jual mobil hahahaha. Karena nekat aja, kita buat beli peralatan mesin jahit, mesin seset dan lain-lainnya. Karena modal kita terbatas, kita ngandalinnya sistem pre order dengan pembayaran di muka 50%. Nanti bisa kita putar buat membeli bahan-bahan. Sekarang, Alhamdulillah kita sudah bisa stock,” tutur Ayu.


Diby Leather yang Tak Ingin Gadaikan Kualitas


Persaingan tentu terjadi di mana pun. Dalam hal ini, Ayu yang bersaing dengan para pengrajin besar di Yogyakarta, mengaku persaingan ketat ini justru menambah semangatnya.
“Yogya itu pusat kerajinan ya, dan banyak juga yang produksi seperti kami. Persaingannya ketat. Dari harga sudah bersaing, brand apalagi, juga harga produksi semua sudah naik. Kita harus lebih kreatif dan inovatif lagi,” ungkap Ayu. Meski banyak produk tas yang menawarkan harga murah, hal ini tak ingin dijadikannya sebagai srategi pemasaran.
Diby Leather menurut Ayu, sangat mengutamakan kualitas dan juga bahan produksi. Bahan dasar kulit ia beli langsung dari salah satu pengrajin di Jawa Timur untuk di samak (proses pengolahan warna). Sang suami membantu menyamak kulit, dan Ayu mengolahnya menjadi produk Diby Leather seperti tas, dompet dan lain-lain. Hal ini ia akui sebagai satu langkah memangkas harga produksi, dibanding harus membeli kulit jadi dari pengrajin.

Diby Leather memakai spesialisasi pull-up yang membuat produk lebih tahan lama. “Kalau untuk kulitnya sendiri kita pakai yang sudah matang. Kita pakai spesialisasinya pull-up. Kalau kulit matang itu kan dipakai dalam jangka waktu yang lama lebih awet,” jelas wanita kelahiran Yogyakarta, 18 Desember 1981.

Dengan kualitas yang bisa diadu, Diby Leather menghargai produknya Rp 350 ribu hingga Rp 2 juta. Tas kulit yang dihasilkan kini dipasarkan di beberapa marketplace, termasuk Qlapa. Untuk toko fisik Ayu mengaku belum memilikinya karena toko online menurutnya lebih efisien. “Kita home industry, jadi kalau ada yang mau mesan, ke rumah aja juga bisa gitu hahaha,” canda Ayu.
Saat ini Diby Leather dikerjakan oleh 5 orang pengrajin, termasuk Ayu sendiri dan sang suami. Lebih dari 5 tahun berdiri, Ayu berharap produk yang ia hasilkan dapat merambah ke pasar ekspor dan dikenal di pasar internasional. “Kalau bisa enggak usah nunggu 5 tahun ke depan, harus bisa secepatnya,” tambah Ayu.
Diby Leather memiliki satu mimpi yang lebih besar, yakni menjadi brand yang mumpuni dan terkenal dengan produk mereka sendiri. Mengembangkan kerajinan asli Indonesia dari tangan pengrajin Indonesia. “Kita juga mau kembangkan ke yang lain. Misalnya kain-kain tradisional padukan dengan kulit. Walaupun itu sudah ada, tapi kita mau punya konsep seperti itu,” tutup Ayu.


http://blog.qlapa.com/dibyleather